Senin, 21 November 2011

Sepakbola Indonesia di SEA Games ke-26

SEA Games yang baru berlalu menyisakan sedikit kepedihan di hati saya, karena di cabang olahraga sepakbola kita kembali gagal mempersembahkan emas. Memang SEA Games bukan perhelatan olahraga khusus sepakbola, tapi juara umum tanpa medali emas sepakbola rasanya hambar.

Ulasan Pertandingan
Di saat timnas U-23 yang berlaga di SEA Games ke-26 memberikan permainan menarik sepanjang babak penyisihan, rakyat Indonesia kembali bersatu membela timnas U-23 setelah kecewa karena timnas senior yang berlaga di Kualifikasi Piala Dunia 2014 hancur lebur dengan menorehkan rekor kekalahan 100%. Kekalahan dari Malaysia 0-1 di babak penyisihan tidak begitu mengganggu para supporter untuk tetap yakin dengan penampilan timnas U-23, karena waktu itu timnas U-23 tidak menurunkan kekuatan penuh. Mereka sudah dipastikan lolos ke babak semifinal setelah membantai Kamboja 6-0, mengalahkan Singapura 2-0 lalu mengalahkan Sang Penguasa Asia Tenggara, Thailand, dengan skor 2-1.
Saya tidak sempat menyaksikan pertandingan timnas U-23 melawan Singapura karena suatu hal yang disebut kerjaan. Tapi informasi yang saya peroleh, timnas U-23 bermain buruk pada babak ke-2...lagipula Singapura telah kehilangan 1 orang pemainnya yang menerima kartu merah.
Ketika melawan Thailand, timnas U-23 juga mendapat keuntungan karena seorang pemain Thailand telah dikeluarkan sejak dini, yaitu pada menit ke-12. Akhirnya bahkan Thailand hanya bermain dengan 9 orang pemain setelah satu pemain lagi dikeluarkan wasit. Memang, permainan kasar yang diperagakan Thailand beresiko pada mereka sendiri dengan dikeluarkannya sejumlah pemain, tapi kekuatan timnas U-23 jadi tidak memperoleh ujian yang sesungguhnya melawan tim yang kuat dengan 11 vs 11.
Strategi yang diterapkan pelatih Rahmad Darmawan ketika menghadapi Malaysia tidak bisa dijadikan patokan terhadap kekuatan timnas U-23. Memang timnas U-23 menerima kekalahan 0-1, tapi dengan menurunkan tim lapis ke-2. Hampir semua jagoan inti diberi kesempatan istirahat demi meladeni lawan di babak semifinal dengan kesegaran penuh. Benar saja, strategi sang pelatih terbilang jitu. Di babak semifinal, timnas U-23 bermain penuh tenaga ketika melawan Vietnam, tim yang juga tak bisa dibilang kacangan. Semakin bertambahlah keyakinan di hati setiap supporter Indonesia bahwa timnas U-23 dapat menjuarai cabang sepakbola SEA Games ke-26 ini.
Tapi yang terjadi di pertandingan pamungkas sama sekali tidak seperti yang kami (setidaknya, saya) harapkan. Setelah unggul melalui gol sundulan Gunawan, sepertinya kita kehilangan kontrol terhadap pertandingan. Malaysia mampu menguasai jalannya pertandingan, sedangkan para pemain belakang timnas U-23 seperti panik, dan membuang bola jauh-jauh...seperti tidak punya rencana matang untuk membangun serangan dan menciptakan gol ke-2. Benar saja, keunggulan timnas U-23 berhasil dinetralisir oleh Malaysia setelah pemain belakang mereka berhasil menyarangkan bola di gawang yang dikawal Kurnia Meiga.
Di babak ke-2, saya lebih melihat permainan individual dari para penyerang timnas U-23 seolah pertandingan ini hanya dimenangkan oleh perorangan. Timnas U-23 beruntung, karena Malaysia tidak segencar babak pertama ketika menggempur pertahanan Indonesia. Faktor fisik yang merosot (dan ego yang tinggi) mungkin jadi penyebab kurang berkualitasnya babak kedua. Pertandingan berakhir dengan hasil imbang 1-1 sepanjang 90 menit, dan harus dilanjutkan ke babak perpanjangan waktu.
Puluhan ribu supporter Indonesia di Gelora Bung Karno dan puluhan juta lainnya di seantero nusantara sempat dibuat bersorak ketika Ferdinan Sinaga berhasil menjebol gawang Malaysia. Tapi gol tersebut dianulir wasit karena tampak jelas bahwa pemain timnas U-23 yang lain, Okto Maniani, berada pada posisi offside. Semangat para punggawa timnas U-23 sempat terlecut setelah gol yang dianulir tersebut, tetapi Malaysia sudah keburu menutup rapat barisan pertahannya sambil sesekali melancarkan serangan balik dengan kecepatan yang jauh menurun dibanding pada babak-babak sebelumnya. Emosi pemain kedua kesebelasan tampak lebih tinggi pada babak perpanjangan waktu ini. Saya kembali menyeksikan pertandingan dengan seksama setelah di babak kedua saya lebih banyak mengalihkan perhatian ke gadget saya untuk chatting (baca: mengurangi ketegangan)dengan teman-teman yang on-line.
Kedua tim gagal menambah perbendaharaan gol sampai 120 menit berlalu. Sepanjang 120 menit tersebut, saya hanya melihat timnas bermain apik di 20 menit awal dan 30 menit terakhir (dengan tenaga yang limited). Terlepas dari kekalahan timnas U-23 dari Malaysia pada adu penalty, saya lebih menitikberatkan pada permainan sepanjang 120 menit. Timnas U-23 Indonesia tidak memperlihatkan permainan sebaik ketika melawan Vietnam pada semifinal. Indonesia kembali gagal meraih medali emas SEA Games dari cabang olahraga sepakbola setelah 20 tahun.

Me Against The Whiner(s)
Kekecewaan saya tak terbendung. Tanpa bermaksud menghujat personil timnas U-23, saya menyatakan kekecewaan saya tersebut di jejaring sosial. Saya pikir kekecewaan adalah hal yang wajar dari seorang supporter Indonesia. Kecewa saya (mungkin kami) ini bukan berarti saya kehilangan rasa cinta tanah air. Walaupun pemerintah negara ini trbilang bobrok, dan timnas sepakbolanya belum juga menunjukan prestasi yang membanggakan, saya tetap cinta Indonesia. Tapi apa yang saya temui? Perpecahan terjadi di jejaring sosial. Beberapa orang wanita di jejaring sosial malah balik menghujat yang kecewa akan hasil yang didapat oleh timnas U-23. Kenapa jadi ngajak berantem sih? Sekali lagi, kecewa itu wajar. Yang tidak wajar malah kalau kita tidak kecewa. Atau mungkin, orang-orang yang tidak kecewa itu hanya jaim di jejaring sosial dan menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya (saya ngga bilang munafik, lho...tapi ngga fair). Atau mungkin, wanita yang tidak kecewa sesungguhnya tak tahu mengenai olahraga, sepakbola khususnya. Kehidupan mereka sebelum booming timnas sepakbola Indonesia beberapa waktu lalu mungkin hanya berkisar antara bunga dan boneka saja. Itu mungkin sebabnya pada kosa kata bahasa Inggris hanya ada kata sportsmanship (sikap sportif, google translate), bukan sportswomanship.
Satu hal lagi yang saya rasakan perbedaan antara supporter timnas U-23, ada yang winner dan whiner. Winner kesal dengan permainan buruk, dan whiner hanya berucap yang penting sudah berusaha. Winner berusaha tetap melihat kelemahan untuk perbaikan di masa yang akan datang, whiner bertepuk tangan dengan kekalahan dan berhenti sampai di situ saja. Which one are you?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar