Sabtu, 21 Februari 2009

Bahaya Rokok Bagi "Otak" Manusia

Rokok...hmmm, apa sih artinya benda itu? Menurut saya rokok adalah realisasi dari setan (atau apalah) yang merusak manusia, baik secara biologis maupun psikis. Di dalam tulisan kali ini saya tidak akan membahas pengaruh rokok bagi biologis manusia, karena hal itu telah sering kali terengar dan efeknya sama saja...dicuekin!!!
Yang pertama kali ingin saya bahas soal konsekuensi pemerintah dalam hal rokok. Beberapa waktu lalu MUI nyaris saja men-cap rokok sebagai barang haram, tapi hal itu batal. Bagaimana tidak, lha wong orang-orang MUI-nya saja sendiri masih pada merokok. Jadi untuk menyamarkannya, pemerintah mencantumkan "himbauan" di setiap bungkus rokok. Dan pemerintah juga membuat aturan (undang-undang atau apalah...) bagi para penjual rokok untuk tidak melayani pembelian rokok oleh orang di bawah 18 tahun.
18 tahun? Mengapa harus 18 tahun? Jika pemerintah mencantumkan angka 18 sebagai acuan untuk usia produktif, berarti...hmmm?! Padahal masih banyak orang-orang usia di atas 18 tahun yang belum produktif, dan masih saja mengandalkan duit pasokan pihak lain untuk membeli barang tidak baik tersebut (kalau tidak mau disebut haram).
Mungkin bagi orang-orang semacam ini, makan tidak terlalu penting asal ada rokok dan kopi.
Coba Anda (pemerintah) lihat kembali, apakah gaya hidup seperti ini sehat? Kalau tidak salah, pemerintah juga bekerja untuk membuat rakyatnya sehat...benar tidak? (Kalau ada yang menganggap salah, tolong lihat lagi fungsi dari Departemen Kesehatan) Atau, pemerintah memang sengaja membuat rakyatnya sakit sehingga ada dana di kas pemerintah (dan kas orang-orangnya) untuk menanggulangi masalah kesehatan.
Dilihat dari segi ekonomi lain, memang banyak rakyat kecil yang menggantungkan harapannya dari produksi rokok. Salah satunya pasti para pekerja di pabrik rokok. Salah duanya (?) yaitu para penjaja rokok, baik pedagang asongan ataupun pemilik warung. Untuk hal yang satu ini, saya ingin menceritakan tentang balada kios rokok di Sukabumi.
Begini ceritanya, ada satu kios rokok/warung di dekat tempat saya tinggal. Sang pemilik warung berkali-kali mengeluh kepada saya soal usahanya itu. Dan yang saya dengar, melulu keluhan tentang para pembeli...uhm, penghutang rokok yang datang ke warungnya. Pernah suatu hari sang pemilik warung tersebut disemprot sama tetangganya karena suami sang tetangga itu terus-terusan ngutang rokok, dan ketika hendak dibayar jumlahnya telah mencapai Rp 70.000-an. Hal ini terus saja berulang. Dari anak SMA (yang masih di bawah 18 tahun), sampai ke orang dewasa tanpa penghasilan dibiarkannya berhutang hingga jumlahnya puluhan ribu. Padahal katanya lagi, untung dari berjualan rokok tidak seberapa. Tapi, jika terus-terusan dihutangi, dan belum dibayar, dia tidak punya modal lagi untuk memutarkan uang dan mengais rejeki. On My Gosh, kasian banget ya?
Secara tidak langsung saya pun terkena imbas efek negatif rokok. Terus terang, kakak perempuan saya seorang rokok-holic. Dia bahkan tega menyajikan nasi putih saja untuk anak-anaknya tanpa ada lauk-pauknya (yang memang sangat dibutuhkan oleh anak-anaknya yang sedang dalam masa pertumbuhan) dengan alasan, tidak punya uang untuk menyajikan lauk-pauk yang harganya terus meningkat. Yang saya tahu, dia tetap saja membeli satu bungkus rokok per hari. Jadi, harus makan nasi putih pake rokok ini teh? Mantan suaminya malah pernah bermasalah dengan saya. Uang tabungan saya (recehan pecahan 500-an) hampir ludes dijajanin rokok. (saya dapat keterangan tentang nasib 500-an saya itu dari pemilik warung yang menceritakannya kepada saya sambil cengar-cengir...padahal saya tuh sudah hampir pingsan mendengarnya!)
Cerita lain lagi. Sekarang saya bekerja di warnet yang menerima jasa pengetikan. Beberapa kali orang-orang datang kepada saya, minta tolong ketikin surat/naskah. Ada beberapa dari mereka yang menawarkan saya rokok selagi saya mengetik surat/naskah mereka. Dengan bangga saya bilang kepada mereka,"Maaf, saya tidak merokok!" Setiap sehabis saya bilang itu, mereka pasti membalasnya dengan ucapan "Wah! Bagus tuh!" sambil meneruskan niat awalnya...membuka rokok, mengambilnya sebatang, dan meminjam korek. Jadi, maksud mereka menyanjungku dg kata-kata wah-bagus-tuh hanya basa-basi? Kalau memang benar bagus menurut mereka, mengapa mereka tidak ingin hal itu terjadi pada diri mereka? Cape deh...!
Jadi, tulisan berjudul "Bahaya Rokok Bagi "Otak" Manusia" di atas bisa Anda pahami, di bagian mana otak manusia yang saya maksud?