Minggu, 25 Desember 2011

Pursuit of Happiness

Saya membuat judul tulisan ini sama persis dengan judul film yang dibintangi oleh Will Smith. Tapi tulisan saya kali ini bukan berarti resensi film itu, lho! Selama jeda iklan film yang ditayangkan di salah satu televisi swasta, saya tidak beranjak dari tempat duduk saya. Saya hanya duduk dan mencoba mengingat kembali masa lalu saya yang terbilang blangsak. Gimana engga dibilang blangsak kalo untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, setiap harinya saya nitip jual es mambo 500 perakan sambil sibuk berdagang pizza mini di sekolah dekat rumah saya. Emang sih, bukan dari situ aja penghasilan harian saya, tapi juga sambil buka rental PS kecil-kecilan (2 unit). Kalau setiap habis shalat subuh saya disibukan dengan menghangatkan pizza yang saya bikin sendiri malam sebelumnya untuk dijajakan di sekolah pada pagi harinya, maka pada siang hari saya bisa sedikit beristirahat sambil nungguin rental PS 2. Apa sih susahnya mencet tombol sleep di remote control untuk sekedar menandakan waktu sewa PS. Sore harinya, 2 atau 3 hari sekali, saya dibantu oleh tetangga saya mencoba membuat es mambo untuk dititipjualkan di warung tetangga saya itu. Saya masih ingat bagaimana lelahnya membuat pizza sekaligus menjajakannya. Larangan berjualan di sekolah swasta sempat sedikit membuat saya down. Tapi, hey...masa' pizza segini banyak mau saya abisin sendiri di hari pertama jualan pizza?! Lalu saya mencoba berjualan di sekolah lainnya. Asyik, saya langsung dipersilahkan berjualan tanpa ada pungutan/retribusi dari pihak lain. Alhamdulillah, beberapa muka anak-anak yang bersekolah di sini tidak asing lagi sebab mereka juga sering bermain di rental PS saya. Alhasil, dagangan pizza saya ludes. Dari hari ke hari begitu terus, dan saya bersyukur kepada Allah karena masih diberi kemampuan dan kemauan untuk bertahan. Tapi ada satu hal yang sangat memalukan dan selalu membuat saya tersenyum jika mengingatnya kembali. Saya berjualan pizza hanya bermodalkan kotak plastik, dan saya berjualan sambil jongkok di antara pengais rezeki di halaman sekolah itu. Kebetulan hari itu saya berada tepat di samping penjual aksesoris wanita seperti bando, gelang dan sejenisnya. Pagi itu, dari kejauhan saya melihat sosok wanita cantik berjalan ke arah saya. Ya, namanya Vita. Saya tahu namanya karena rumahnya hanya berjarak sekitar 200 meter dari rumah saya. Tadinya saya mau sembunyi sampai si Vita ini pergi, tapi saya pikir "buat apa saya malu, toh pekerjaan yang saya lakoni ini halal?!" Akhirnya saya siap-siap pasang senyuman semanis mungkin dan mencoba menegurnya ketika dia tepat di hadapan saya. Sambil menunggu dia mendekat, dalam hati saya bersiap-siap menegurnya sambil menjajakan pizza..."pizza, Vit," itu yang akan saya katakan. Tetapi pas dia ada di hadapan saya, saya berkata lantang, "Vita, Piz!" Ya Allah, kenapa jadi itu yang keluar? Sambil memalingkan muka dan menutupnya dengan bahu saya, saya tak mau lagi melihat ke arahnya untuk beberapa detik ke depan. Masih banyak duka saya di masa itu. Saya tidak bisa menceritakannya karena mungkin hal itu akan menyinggung beberapa pihak. Ya sudah, anggap saja saya waktu itu berada di posisi enemy of the state, kecuali di mata anak-anak yang menganggap saya sebagai teman karena mereka bisa bermain PS tidak jauh dari kediamannya. Yang paling ringan resikonya mungkin berjualan es mambo. Kalau hari itu tidak habis, saya bisa menyimpannya kembali di kulkas. Selain itu, tidak ada pihak yang merasa dirugikan dengan adanya es mambo di warung lingkungan kami. Saat melihat bagaimana lelahnya perjuangan Will Smith in order to pursuit of happiness, saya kembali bersyukur kepada Allah karena telah diberi pengalaman seperti itu, yang saya kira dapat membuat diri saya lebih kuat dalam menghadapi kesulitan ekonomi di masa setelahnya. Dan saya berpikir lagi, mungkin letak kebahagiaan dalam proses mencari kebahagiaan itu (salah satunya) pada proses pencariannya itu sendiri. Lihat bagaimana saya sekarang bisa tersenyum jika melihat kembali ke masa susah itu. Oom Bob Sadino juga bisa menceritakan masa lalunya yang berjualan ayam sambil tertawa. Pak Mario Teguh pun tersenyum juga ketika menceritakan sewaktu ia dan istrinya hanya mampu menyewa gudang. Michael Jordan bilang, "if you want to succeed, you must fail." Jadi, jangan terlalu mengeluh sama keadaan yang tidak menyenangkan. Nikmati saja sambil berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengatasinya dan menciptakan keadaan baru seperti yang kamu inginkan. Jangan mudah menyerah, jangan menangis, just enjoy the pain.

Selasa, 29 November 2011

A Man's Heart

Saya ngga berbicara tentang Superman yang memiliki otot besi, tulang kawat dan (mungkin) hati emas. Juga bukan soal prajurit-prajurit kerajaan Inggris yang konon berhati singa. Tapi saya cuma mau ngungkapin tentang hati yang saya miliki, dan (mungkin) anda, juga (mungkin) anda (para laki-laki). Pada lagu Girls Ain’t Nothing But Trouble, saya mendapati ungkapan keputusasaan dari DJ Jazzy Jeff & The Fresh Prince di akhir lagu bahwa “Girls...can’t live with ‘em, can’t live without ‘em”. I exactly know what they feel. Sebetulnya ketika laki-laki gentle memulai suatu hubungan, mereka men-set pikiran mereka untuk menjadikan hubungan itu bisa langgeng sampai ke tahap berikutnya, which is marriage, dan sampai akhir, which means til death do us part. Saya, dan adik laki-laki saya, pasti berpikiran seperti itu terhadap para pasangan kami masing-masing. Nampaknya kami rela mengorbankan tenaga, waktu dan harta kami (terkecuali jiwa :p) untuk mereka. Tapi seringkali apa yang para gentlemen itu pikirkan tak sesuai dengan apa yang ada di pikiran wanitanya. Mungkin sang wanita hanya menjadikan hubungan itu sebagai sebuah pengalaman untuk mendapati hubungan yang akan mereka jalani dengan lebih serius, dengan laki-laki lain. Bukan suatu kebodohan jika laki-laki kalau menganggap hubungan dengan kekasihnya sebagai hal yang serius dan layak dipertahankan. Jika memang otak sang laki-laki telah men-set pasangannya sebagai calon pendampingnya, pasti pasangannya akan dianggapnya sebagai yang terbaik yang ada di dunia ini. Sang wanita akan dianggapnya lebih pintar dari Marie Curie, dan lebih cantik dari Dian Sastro sekalipun. Tantu cukup sulit bagi si laki-laki untuk menghapus pikiran tentang wanitanya sebagai yang terbaik sejagad raya jika hubungannya harus berakhir. But I’m sure I...uhm, we can over her. Pengalaman yang saya miliki, saya berkali-kali mencoba mengulangi hubungan kami yang sempat terputus karena sang wanita “sempat” berpindah ke lain hati. Tapi ape mo dikate, akhirnya perselingkuhan terjadi lagi dan lagi hingga saya cape’ mempertahankan hubungan itu. Ada pola kehidupan yang selama ini saya sendiri meyakininya (soalnya emang gue yang buat sih!) bahwa “Suatu kejadian akan terus berulang di dalam kehidupan ini, sampai kita sadar dan mau menghentikannya.” Dalam hal hubungan antara dua individu yang berlainan jenis (bukan sejenis!), berarti harus ada kemauan dari dua belah pihak...bukan cuma si laki-lakinya doang atau wanitanya doang. Jika si wanita mencoba mempertahankan si cowok resminya dan selingkuhannya sekaligus dengan alasan hatinya cukup besar untuk memuat 2 orang laki-laki (hahaha!), jangan mau!!! Jelas-jelas itu berarti si wanita akan kembali berselingkuh, dan hal yang sama akan terus berulang karena belum ada kesadaran dan keinginan dari si wanita untuk merubah pola hidupnya tersebut. Juga bukan mutlak kesalahan si wanita kalau hal ini terjadi. Wanita berhak dong memilih pasangan yang terbaik untuk dijalani bersama dalam kehidupan! Hal yang bisa dibilang salah di sini hanyalah kesalahan pola pikir 2 individu yang berbeda arah...yg satu serius, yang satu lagi ngga. Memang, cukup sakit jika sang laki-laki ternyata telah mengorbankan semuanya, tapi gagal memperoleh si wanita sebagai pendamping hidupnya. Tapi pernikahan yang diharapkan si laki-laki terjadi di antara dia dan pasangannya membutuhkan komitmen dari 2 belah pihak, dia dan pasangannya. Bukan hanya dia sendiri aja. Kalau sudah begitu, percayalah, itu namanya bukan jodoh. Si laki-laki boleh saja mengerahkan 101% kekuatan yang dimiliknya untuk berjodoh dengan wanita idamannya itu, tapi keputusan akhir tetap merupakan hak prerogative Allah. Jadi, harus bagaimana laki-laki harus menyikapinya? Tentu setiap laki-laki tidak akan mempunyai jalan yang sama untuk menyikapi keputusasaan ini. Tapi mungkin yang terbaik menurut saya seperti ini... 1. Menumpahkan kekesalan, agar kekesalan anda habis...sehingga anda bisa memulai hari yang sama sekali fresh tanpa rasa kesel yang gagal terlampiaskan. Kalo Mike Tyson, mungkin kekesalannya ditumpahkan di ring tinju terhadap lawan-lawannya. Kalo saya, bahkan sempet berantem dengan seseorang hingga urusannya sampe ke polisi...hehehe! 2. Mencoba suasana baru. Saya sempat maen ke rumah temen saya di daerah pegunungan untuk ngilangin kepenatan. Betul aja, waktu ada di sana, saya sama sekali lupa tentang kandasnya hubungan yang telah bertahun-tahun itu. Tapi berhubung saya hanya beberapa jam di sana, jadi keselnya perlahan mulai timbul lagi. Tapi yakin deh....time will heal everything. 3. Cari pacar lagi. Kalo kalian emang laki-laki gentle seperti yang saya bilang di atas, sebaiknya kalian mencari woman, not girl. Girl will tell that she loves you, but woman will show it (quote jiplakan). Memang girl keliatannya lebih fresh dibanding woman, tapi percuma kalo pada akhirnya kalian akan sakit hati lagi. Toh pada akhirnya the girl will become a woman. Dan ingat (!), jangan sekali-kali melampiaskan kegagalan percintaan dengan wanita yang sama sekali baru. Kasian tau... 4. (INI YANG PALING BENER!) Fokusin ke agama untuk menghilangkan kegundahan hati. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, ta’kan berlangsung tanpa izin Allah.

Senin, 21 November 2011

Sepakbola Indonesia di SEA Games ke-26

SEA Games yang baru berlalu menyisakan sedikit kepedihan di hati saya, karena di cabang olahraga sepakbola kita kembali gagal mempersembahkan emas. Memang SEA Games bukan perhelatan olahraga khusus sepakbola, tapi juara umum tanpa medali emas sepakbola rasanya hambar.

Ulasan Pertandingan
Di saat timnas U-23 yang berlaga di SEA Games ke-26 memberikan permainan menarik sepanjang babak penyisihan, rakyat Indonesia kembali bersatu membela timnas U-23 setelah kecewa karena timnas senior yang berlaga di Kualifikasi Piala Dunia 2014 hancur lebur dengan menorehkan rekor kekalahan 100%. Kekalahan dari Malaysia 0-1 di babak penyisihan tidak begitu mengganggu para supporter untuk tetap yakin dengan penampilan timnas U-23, karena waktu itu timnas U-23 tidak menurunkan kekuatan penuh. Mereka sudah dipastikan lolos ke babak semifinal setelah membantai Kamboja 6-0, mengalahkan Singapura 2-0 lalu mengalahkan Sang Penguasa Asia Tenggara, Thailand, dengan skor 2-1.
Saya tidak sempat menyaksikan pertandingan timnas U-23 melawan Singapura karena suatu hal yang disebut kerjaan. Tapi informasi yang saya peroleh, timnas U-23 bermain buruk pada babak ke-2...lagipula Singapura telah kehilangan 1 orang pemainnya yang menerima kartu merah.
Ketika melawan Thailand, timnas U-23 juga mendapat keuntungan karena seorang pemain Thailand telah dikeluarkan sejak dini, yaitu pada menit ke-12. Akhirnya bahkan Thailand hanya bermain dengan 9 orang pemain setelah satu pemain lagi dikeluarkan wasit. Memang, permainan kasar yang diperagakan Thailand beresiko pada mereka sendiri dengan dikeluarkannya sejumlah pemain, tapi kekuatan timnas U-23 jadi tidak memperoleh ujian yang sesungguhnya melawan tim yang kuat dengan 11 vs 11.
Strategi yang diterapkan pelatih Rahmad Darmawan ketika menghadapi Malaysia tidak bisa dijadikan patokan terhadap kekuatan timnas U-23. Memang timnas U-23 menerima kekalahan 0-1, tapi dengan menurunkan tim lapis ke-2. Hampir semua jagoan inti diberi kesempatan istirahat demi meladeni lawan di babak semifinal dengan kesegaran penuh. Benar saja, strategi sang pelatih terbilang jitu. Di babak semifinal, timnas U-23 bermain penuh tenaga ketika melawan Vietnam, tim yang juga tak bisa dibilang kacangan. Semakin bertambahlah keyakinan di hati setiap supporter Indonesia bahwa timnas U-23 dapat menjuarai cabang sepakbola SEA Games ke-26 ini.
Tapi yang terjadi di pertandingan pamungkas sama sekali tidak seperti yang kami (setidaknya, saya) harapkan. Setelah unggul melalui gol sundulan Gunawan, sepertinya kita kehilangan kontrol terhadap pertandingan. Malaysia mampu menguasai jalannya pertandingan, sedangkan para pemain belakang timnas U-23 seperti panik, dan membuang bola jauh-jauh...seperti tidak punya rencana matang untuk membangun serangan dan menciptakan gol ke-2. Benar saja, keunggulan timnas U-23 berhasil dinetralisir oleh Malaysia setelah pemain belakang mereka berhasil menyarangkan bola di gawang yang dikawal Kurnia Meiga.
Di babak ke-2, saya lebih melihat permainan individual dari para penyerang timnas U-23 seolah pertandingan ini hanya dimenangkan oleh perorangan. Timnas U-23 beruntung, karena Malaysia tidak segencar babak pertama ketika menggempur pertahanan Indonesia. Faktor fisik yang merosot (dan ego yang tinggi) mungkin jadi penyebab kurang berkualitasnya babak kedua. Pertandingan berakhir dengan hasil imbang 1-1 sepanjang 90 menit, dan harus dilanjutkan ke babak perpanjangan waktu.
Puluhan ribu supporter Indonesia di Gelora Bung Karno dan puluhan juta lainnya di seantero nusantara sempat dibuat bersorak ketika Ferdinan Sinaga berhasil menjebol gawang Malaysia. Tapi gol tersebut dianulir wasit karena tampak jelas bahwa pemain timnas U-23 yang lain, Okto Maniani, berada pada posisi offside. Semangat para punggawa timnas U-23 sempat terlecut setelah gol yang dianulir tersebut, tetapi Malaysia sudah keburu menutup rapat barisan pertahannya sambil sesekali melancarkan serangan balik dengan kecepatan yang jauh menurun dibanding pada babak-babak sebelumnya. Emosi pemain kedua kesebelasan tampak lebih tinggi pada babak perpanjangan waktu ini. Saya kembali menyeksikan pertandingan dengan seksama setelah di babak kedua saya lebih banyak mengalihkan perhatian ke gadget saya untuk chatting (baca: mengurangi ketegangan)dengan teman-teman yang on-line.
Kedua tim gagal menambah perbendaharaan gol sampai 120 menit berlalu. Sepanjang 120 menit tersebut, saya hanya melihat timnas bermain apik di 20 menit awal dan 30 menit terakhir (dengan tenaga yang limited). Terlepas dari kekalahan timnas U-23 dari Malaysia pada adu penalty, saya lebih menitikberatkan pada permainan sepanjang 120 menit. Timnas U-23 Indonesia tidak memperlihatkan permainan sebaik ketika melawan Vietnam pada semifinal. Indonesia kembali gagal meraih medali emas SEA Games dari cabang olahraga sepakbola setelah 20 tahun.

Me Against The Whiner(s)
Kekecewaan saya tak terbendung. Tanpa bermaksud menghujat personil timnas U-23, saya menyatakan kekecewaan saya tersebut di jejaring sosial. Saya pikir kekecewaan adalah hal yang wajar dari seorang supporter Indonesia. Kecewa saya (mungkin kami) ini bukan berarti saya kehilangan rasa cinta tanah air. Walaupun pemerintah negara ini trbilang bobrok, dan timnas sepakbolanya belum juga menunjukan prestasi yang membanggakan, saya tetap cinta Indonesia. Tapi apa yang saya temui? Perpecahan terjadi di jejaring sosial. Beberapa orang wanita di jejaring sosial malah balik menghujat yang kecewa akan hasil yang didapat oleh timnas U-23. Kenapa jadi ngajak berantem sih? Sekali lagi, kecewa itu wajar. Yang tidak wajar malah kalau kita tidak kecewa. Atau mungkin, orang-orang yang tidak kecewa itu hanya jaim di jejaring sosial dan menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya (saya ngga bilang munafik, lho...tapi ngga fair). Atau mungkin, wanita yang tidak kecewa sesungguhnya tak tahu mengenai olahraga, sepakbola khususnya. Kehidupan mereka sebelum booming timnas sepakbola Indonesia beberapa waktu lalu mungkin hanya berkisar antara bunga dan boneka saja. Itu mungkin sebabnya pada kosa kata bahasa Inggris hanya ada kata sportsmanship (sikap sportif, google translate), bukan sportswomanship.
Satu hal lagi yang saya rasakan perbedaan antara supporter timnas U-23, ada yang winner dan whiner. Winner kesal dengan permainan buruk, dan whiner hanya berucap yang penting sudah berusaha. Winner berusaha tetap melihat kelemahan untuk perbaikan di masa yang akan datang, whiner bertepuk tangan dengan kekalahan dan berhenti sampai di situ saja. Which one are you?