Senin, 05 Juli 2010

Sporting Kit

Untuk menjadi seorang juara, tekadlah yang terpenting. Sisanya barulah mental/pengalaman dan bakat. Tapi tolong ditinjau lagi, mengapa atlit-atlit masa kini mempunyai torehan rekor yang lebih baik dibandingkan pendahulunya? Apakah program latihan yang semakin modern juga menunjang? Menurut saya jawabnya: belum tentu! Hal ini karena perkembangan modernisasi pada latihan olahraga tidak terlalu signifikan. Contoh pertamanya bisa dibuktikan pada cabang olahraga basket. Untuk mempertinggi vertical leap dan kelincahan gerak kaki, tetap saja skipping yang jadi andalan. Mungkin penggunaan jumpsoles merupakan teknik terkininya, tapi tak seefektif skipping karena jumpsoles tidak dapat memacu seseorang untuk terus berjalan di atasnya.
Pertanyaan saya di atas tidak berlaku untuk cabang olahraga otomotif. Adrian Newey akan lebih bisa berkreasi men-design body F-1 jika menggunakan terowongan angin yang mungkin belum ada di era 50-an. Tapi (masih ada tapi-nya), siapa yang mengatakan lomba otomotif (F-1, MotoGP, NASCAR, dsb.) suatu cabang olahraga? Bahkan IOC-pun belum mendaftarkannya di olimpiade musim panas 4 tahunan.

Salah satu terapan teknologi pada cabang olahraga yaitu penggunaan perlengkapan bagi si atlet, seperti: sepatu dan baju. Sepatu basket (Nike) contohnya, semakin menggunakan teknologi terkini untuk menunjang kemampuan sang atlet. Dari mulai air system, shox dan zoom air. Kompetitornya (Reebok) pun mencari teknologi terapan lain, lalu memasarkan pump dan hexalite. Tentu saja penerapan teknologi-teknologi mutakhir tersebut berimbas pada membumbungnya harga-harga sepatu tadi. Yang dulunya harganya hanya berkisar 100 ribuan (Converse kanvas), kini sudah mencapai 1,5 jutaan (Nike Zoom Lebron). Mungkin untuk beberapa kalangan, pemecahannya ada di Taman Puring dan beberapa pasar gelap lainnya. Tapi “pasar gelap” tersebut bukanlah pemecahan bagi kalangan atlet yang memang ingin meningkatkan performanya dengan teknologi sepatu tadi. Hal itu hanya pemecahan bagi kalangan styler yang nggak mau ketinggalan zaman (sepatu basket yang mahal mampu menaikan status sosial pemakainya pada zaman sekarang, red)
Penerapan teknologi bukan hanya pada sepatu, tetapi juga merambah sampai ke pakaian yang digunakan atlet. Untuk awalnya mungkin dicari suatu cara sehingga keringat yang mengucur tidak mengganggu performa atlet ketika bertanding (makanya mengapa di cabang bulutangkis diperbolehkan minta waktu sejenak untuk menyeka keringat, walau kadang hanya sekedar taktik untuk memecah konsentrasi lawan). Lalu beranjak ke pakaian yang dapat menjaga suhu tubuh sehingga tidak beranjak jauh melampaui zona toleransi. Saya tidak tahu persis berapa derajat suhu tubuh yang dimaksud, tetapi untuk otak manusia dan komputer akan bekerja maksimal pada suhu 18 derajat Celcius (inipun katanya).
Pemakaian teknik Dri-Fit di bahan-bahan yang digunakan Nike pastinya cukup menunjang performa tim sekelas Brazil di Piala Dunia 2010 ini. Bagaimana tidak, baju yang dibuat sepenuhnya dari polyester daur ulang (hasil recycle 8 buah botol pelastik) ini mempunyai berat 15% lebih ringan dari bahan kostum Nike edisi sebelumnya. Selain itu jersey ini juga dilengkapi dengan zona ventilasi yang terdiri dari 200 lubang laser kecil untuk meningkatkan aliran udara yang dapat menjaga suhu tubuh. Mungkin pemakaian jersey yang lebih mutakhir patut dipertimbangkan oleh tim sepakbola Inggris yang terbukti hanya berada di urutan kedua setelah Amerika Serikat dengan Nike-nya pada babak penyisihan grup C Piala Dunia Afrika Selatan 2010 lalu. Satu-satunya kelemahan Nike Dri-Fit jersey ini pada logo timnas/klub yg terbuat dari karet, which is pretty itchy for me.

Untuk alasan pribadi: saya tidak pernah betah memakai pakaian baru. Pakaian itu harus dicuci berulang-ulang dulu baru nyaman saya kenakan. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi kaos timnas Brasil, Nascido Para Jogar Futebol. Saya bahkan memakainya dua kali sebelum masuk ke mesin cuci (wah, ketauan joroknya deh gue!). Saya yang terkenal dengan pakaian a la kadarnya dan lumayan kumel berubah menjadi mengkilap ketika memakai jersey Brasil itu di tempat kerja yang mempunyai tingkat kegerahan di atas rata-rata karena ruang kerja saya tak berventilasi dan tanpa aliran udara yang baik. Apakah harga pakaian merubah pendirian saya? Tidak akan pernah! Buktinya, saya lebih memilih kemeja katun biasa dibandingkan batik yang berharga ratusan ribu rupiah ketika menghadiri undangan. Lagi-lagi, harga kaus ratusan ribu tersebut menjadi masalah bagi saya dan sebagian besar atlet wannabe…dimana tingkat kesejahteraan atlet (di Indonesia) terbilang buruk, dan pemerintah pun tidak tinggal diam (tapi ditinggal kabur! He-he-he…)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar